Berikut Penjelasannya :
1. Penyebutan istilah hari ‘Arofah pada asalnya adalah untuk
tanggal, bukan pada tempat ataupun aktivitas tertentu. Hari ‘Arofah adalah
tanggal sembilan Dzulhijah, baik ada yang wukuf ataupun tidak, baik ada yang
puasa ataupun tidak. Karena penyebutan nama hari jika pada nama hari-hari dalam
sepekan maka maksudnya adalah benar-benar nama hari tersebut secara hakiki.
Umpamanya “yaum isnaen” artinya Hari Senin, tidak ada kaitannya dengan tanggal.
Hari Senin bisa tanggal berapa saja. Tetapi jika disebut nama hari yang bukan
kepada nama hari yang tujuh dalam seminggu itu maknanya adalah tanggal.
Umpamanya dikatakan, “ayyamul bid” (hari-hari purnama)
maksudnya adalah tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan; “yaum tarwiyah” artinya
tanggal delapan Dzulhijah, “yaum tasyrik” artinya tanggal 11, 12, dan 13
Dzulhijjah, tidak peduli ia jatuh pada hari apa saja. Maka demikian juga jika
dikatakan “shaum yaum ‘arofah” maksudnya puasa tanggal sembilan dzulhijah,
tidak peduli jatuh pada hari senin, selasa, rabu, kamis, jum’at, sabtu, ataupun
ahad.
2. Bahwa perintah puasa ‘Arofah adalah “Shaum yaum ‘arofah”.
Artinya “puasa pada hari ‘Arofah” bukan puasa karena adanya
perbuatan wukuf di ‘Arofah, bukan pula “puasa karena tempat ‘Arofah”.
Perhatikanlah
perbedaannya dengan cermat karena di sinilah letak perselisihannya. Sebab jika
‘Arofah sebagai tempat dan sebagai aktivitas wukuf menjadi syaratnya, maka
puasa Arofah hanya ada jika ada yang wukuf di ‘Arofah.
3. Puasa ‘Arofah sudah disyariatkan sejak tahun kedua Hijrah
sedang syariat ibadah haji baru pada tahun ke enam atau ke sembilan Hijrah.
Jadi selama empat
atau tujuh tahun, kaum muslimin puasa ‘Arofah tanpa memperhatikan kapan jamaah
haji wukuf, atau tanpa memperhatikan ada atau tidak adanya yang wukuf di
‘Arofah.
4. Pelaksanaan puasa ‘Arofah dengan tidak memperhatikan
penanggalan setempat akan menimbulkan permasalahan baru yang lebih sulit, yaitu
penentuan hari lebaran Idul Adha nya. Kalau memang ada dalil yang
diperselisihkan tentang pengertian puasa ‘Arofah, apakah untuk Idul Adhanya
juga harus mengikuti penanggalan Saudi?
Maka akan terjadi kekacauan penanggalan bulan Dzulhijah
selanjutnya yaitu setelah tanggal sepuluh. Kecauli kalau mau konsisten untuk sepanjang
tahun tidak menggunakan penanggalan negeri masing-masing tetapi menggunakan
penanggalan tunggal mengikuti hasil ru’yat Saudi dengan konsekwensi
negeri-negeri muslim seluruh dunia tidak akan punya kalender melainkan menunggu
ketetapan ru’yat Negara Saudi pada setiap awal hulan.
5. Fakta ilmiyah menunjukan bahwa negeri-negeri muslim
terbagi pada dua wilayah mathla’ (tempat munculnya hilal) yang terkadang
berbarengan terkadang berbeda. Karena munculmya hilal tidak menetap pada posisi
dan ketinggian yang sama setiap awal bulan nya. Demikian juga perbedaan waktu
antara satu negeri muslim di wilayah barat dengan negeri muslim di wilayah
timur ada yang terpaut sampai 12 jam. Sementara pelaksanaan wukuf hanya sekitar
enam jam, yaitu dari bada Zhuhur sampai Magrib. Sehingga jika kaum muslimin
yang tinggal di sebagian benua Amerika yang beda waktunya antara tujuh sampai
delapan jam, maka ia tidak dapat menunaikan ibadah puasa ‘Arofah karena
pelaksanaan wukufnya sudah selesai. Sebaliknya kaum muslimin yang ada di
Australia juga tidak bisa puasa ‘Arofah karena ketika wukuf baru mulai mereka
sudah waktu malam.
6. Fakta historis bahwa selama berabad-abad lamanya kaum
muslimin di dunia melaksanakan puasa Ramadhan maupun Arofah berpatokan kepada
penanggalan negara masing-masing.
Sejak wafatnya Rasulullah hingga abad ke dua puluh, tidak
ada satupun negeri muslim yang menyesuaikan penanggalan mereka kepada ru’yat
negara Saudi, kecuali setelah diketemukannya alat komunikasi dan transformasi
yang canggih sekarang ini. Bagaimana mungkin akan memberi tahukan hasil ru’yat
di Saudi ke pusat khalifah Islam di Bagdad dan Qordova pada masa itu, atau ke
pusat Islam di Jawa dan Sumatra, atau ke pusat Islam di India, dan lain
sebagainya. Kecuali ke negeri-negeri Islam yang berada di sekeliling Mekah atau
Jazirah Arab, dan itu memang hal yang rasional serta realistis.
7. Tidak ada dalil yang mengkhususkan atau yang membedakan
antara ketentuan ru’yat untuk Idul fitri dengan ru’yat Idul Adha. Rasul bahkan
bersabda, “ Siapa di antara kamu yang sudah melihat Hilal Dzulhijah dan hendak
berqurban, maka janganlah ia mencukur rambut dan jangan menggunting kukunya ”
(hadits Sahih Muslim).
Demikian pula sabda Rasulullah, “,,Lebaran adalah pada saat
kalian berlebaran dan berkurban adalah pada saat kalian berqurban”. (Hadits
sahih riwayat Tirmidzi).
Kedua hadits tersebut berlaku bagi setiap negeri muslim,
bukan hanya untuk Saudi Arabia saja. Wallahu’alam.