Foto : Ust Amin, Saat mengisi pengajian di salah satu rumah warga Timika
Puasa Ramadan selama sebulan penuh adalahn kewajiban yang harus dikerjakan oleh setiap muslimin dan muslimat yang sudah memenuhi syarat.
Saat puasa, setiap orang jelas membutuhkan kesiapan mental dan fisik karena harus menahan diri dari makan, minum, syahwat dan hal-hal yang membatalkan puasa lainnya sejak terbit fajar hingga terbenam matahari.
Oleh sebab itulah Islam sebagai agama yang tidak memberatkan kepada pemeluknya memberi keringanan kepada beberapa
Salah satu golongan yang boleh meninggalkan puasa adalah ibu hamil dan menyusui karena puasa bisa saja memberatkannya.
Allah berfirman dal am Surah Al-Baqarah ayat 184 yang artinya:
"... Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin ..." (QS. Al-Baqarah: 184).
Rasulullah saw juga bersabda, "Sungguh Allah yang Maha Perkasa dan Maha Mulia telah membebaskan puasa dan separuh salat bagi orang yang bepergian dan membebaskan pula dari puasa orang hamil dan orang yang menyusui. (HR. 5Al-Khamsah).
Menurut kalangan mazhab Syafii, apabila seorang perempuan yang sedang hamil atau menyusui berpuasa namun berisiko memberikan dampak negatif pada kondisi kesehatan dirinya, anaknya atau salah satunya, maka wajib membatalkan puasa.
Terkait dengan ketentuan menebus puasa yang ditinggalkan, terdapat beberapa pendapat dari para ulama.
Pertama, Sebagian ulama ada yang hanya mewajibkan qadha tanpa perlu membayar fidyah. Pendapat ini sebagaimana diungkapkan oleh kalangan mazhab Hanafi seperti Imam Abu Ubaid, dan Imam Abu Tsaur.
Mereka berpendapat demikian disandarkan pada Surah Al-Baqarah ayat 184 di atas.
Kedua, Para ulama ada yang berpendapat bahwa perempuan hamil dan menyusui yang tidak berpuasa hanya membayarkan fidyah tanpa perlu qadha puasanya.
Mereka yang berpendapat demikian di antaranya Ibnu Umar dan Ibnu Abbas yang mengibaratkan kondisi itu dengan orang lanjut usia, atau kalangan yang tidak sanggup menjalankan puasa.
Ketiga, Para ulama yang mewajibkan qadha dan ditambah dengan fidyah sekaligus. Pendapat yang terakhir ini sebagaimana diungkapkan oleh Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Adapun yang dimaksud dengan fidyah adalah sejumlah harta benda dalam kadar tertentu yang wajib diberikan kepada fakir miskin sebagai ganti suatu ibadah yang ditinggalkan.
Umumnya, fidyah berupa sejumlah makanan yang diberikan kepada fakir miskin.
Sumber : FB Ketum MUI Kab Mimika