Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sejak kelahirannya memosisikan diri sebagai organisasi kader yang berorientasi pada pembentukan insan akademis, pencipta, dan pengabdi yang bernafaskan Islam serta bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT. Dalam perjalanannya, HMI tidak hanya tumbuh sebagai organisasi struktural, tetapi juga melahirkan berbagai tradisi pemikiran dan corak gerakan yang dikenal sebagai mazhab-mazhab HMI.
Di berbagai ruang diskusi kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sering terdengar dikotomi mazhab, diantaranya seperti Mazhab Ciputat, Mazhab Yogyakarta, Mazhab Bandung, dan lainnya. Tiap mazhab lahir dari ruang kultur dan ruang sosial masing-masing daerah yang melahirkan corak pemikiran dan gaya gerakan yang khas. Namun hingga hari ini, Papua belum pernah didefinisikan sebagai “mazhab” tersendiri, padahal dinamika kemahasiswaan dan ke-hmian ditanah Papua memiliki kompleksitas dan seni tersendiri di di Indonesia.
Sebelum masuk lebih jauh, muncul pertanyaan mendasar bagi kita, mengapa perlu “ HMI Mazhab Papua”?
Kemunculan HMI di Tanah Papua tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia hadir bersamaan dengan dinamika besar Indonesia pada dekade 1960-an, terutama memanasnya situasi politik menjelang dan setelah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).
Kehadiran HMI pada masa itu bukan sekadar ekspansi organisatoris. Ia menjadi bagian dari arus besar politik keindonesiaan yang bergerak masuk ke Papua, membawa misi pendidikan kader, pembinaan intelektual, dan penguatan kesadaran kebangsaan. Namun, jika kita menelusuri lebih jauh, jejak HMI di Papua memiliki corak yang berbeda dibanding wilayah lain. Ia lahir bukan dari lingkungan akademik atau organisatoris yang sudah mapan, tetapi lahir dari gejolak politik, dinamika identitas, dan kebutuhan akan peran intelektual muda islam di wilayah yang sedang mencari bentuknya.
Disinilah gagasan tentang "HMI Mahzab Papua" menemukan relevansinya.
Mazhab Papua bukan sekadar label atau istilah eksotis. Ia adalah pengakuan atas fakta bahwa Papua memiliki konteks sosial, kultur, dan sejarah sendiri yang unik dan oleh sebab itu memerlukan pendekatan kaderisasi yang berbeda. Mahasiswa Muslim Papua hidup dalam kemajemukan etnis, agama, dan budaya yang intens, mereka tumbuh di tanah yang penuh tantangan pembangunan dan mereka berinteraksi dengan publik yang sensitif terhadap isu identitas dan ketidakadilan struktural. Kader HMI yang lahir dari realitas ini tentu membutuhkan perspektif yang dibentuk oleh pengalaman sosial Papua bukan sekadar menyalin pola dari Jawa atau Sumatra.
a. Realitas Papua sangat berbeda
Konflik bersenjata, ketidakpastian politik, rendahnya pelayanan publik, hingga marjinalisasi OAP adalah situasi yang tak ditemukan di Jawa. Maka pendekatan kader HMI di Papua harus lebih sensitif, tidak bisa meniru pola gerakan Ciputat atau Bandung secara mentah.
b. Papua lebih dekat dengan isu kemanusiaan
Mazhab Papua harus bertumpu pada humanisme profetik memuliakan manusia sebagai poros gerakan. Karena di Papua, persoalan nyawa, martabat, dan keadilan bukan teori ia realitas sehari-hari.
c. Papua memerlukan Islam yang rahmah
HMI Mazhab Papua harus menawarkan corak Islam yang inklusif, merangkul, penuh empati, dan tidak memproduksi ketegangan baru. Prinsip “Rahmatan Lil Papua” menjadi pijakan moral Islam hadir membawa kesejukan, bukan dominasi.
Mazhab Papua bukan sekadar label atau istilah eksotis. Ia adalah pengakuan atas fakta bahwa Papua memiliki konteks sosial, kultur, dan sejarah sendiri yang unik dan oleh sebab itu memerlukan pendekatan kaderisasi yang berbeda. Mahasiswa Muslim Papua hidup dalam kemajemukan etnis, agama, dan budaya yang intens mereka tumbuh di tanah yang penuh tantangan pembangunan dan mereka berinteraksi dengan publik yang sensitif terhadap isu identitas dan ketidakadilan struktural.
Mazhab Papua adalah seruan untuk membangun identitas kader HMI yang bercorak humanis, inklusif, dan peka konteks. Fokusnya bukan pada dominasi, tetapi pada diplomasi sosial dan pengabdian yang membumi. Kader HMI Papua sudah semestinya menjadi jembatan antara komunitas Muslim dengan masyarakat adat, antara agama dengan budaya, antara kampus dengan persoalan rakyat. Dalam posisi minoritas, dakwah HMI harus hadir sebagai rahmat dan penerang.
Pada akhirnya, HMI Mazhab Papua adalah ikhtiar untuk menjadikan Papua bukan sekadar tempat organisasi berdiri, tetapi sumber inspirasi gerakan. Bahwa dari tanah yang plural, indah, dan penuh tantangan ini, dapat lahir sebuah paradigma kaderisasi Islam yang lebih humanis, lebih reflektif, dan lebih relevan bagi masa depan Tanah Papua dan Indonesia.









