Menurut mayoritas fuqaha, shalat
witir hukumnya sunnah muakkad (sunah yang ditekankan), berdasarkan pada sabda
Rasulullah Saw dalam Musnad Ahmad:
عَنْ عَلِىٍّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- «إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ
فَأَوْتِرُوا يَا أَهْلَ الْقُرْآنِ».
Dari Ali berkata, Rasulullah Saw.
bersabda, “Allah Azza wa Jalla adalah Dzat Yang Esa dan mencintai sesuatu yang
ganjil, maka shalatlah witir wahai ahli Quran.”
Shalat witir sebaiknya dijadikan
sebagai akhir shalat malam, Rasulullah bersabda:
وَعَنْ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ
عَنْهُمَا، عَنْ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: (اِجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ
بِاللَّيْلِ وِتْرًا)
Dari Ibnu Umar r.a, dari Nabi Saw
bersabda, “Jadikanlah akhir shalat malam kalian sebagai witir”.
Perintah dalam hadis tersebut
hanya sunah, dan dianjurkan menjadikan witir sebagai penutup karena witir lebih
utama dibandingkan shalat malam yang lain, sehingga diharapkan seluruh shalat
malam yang telah dilakukan mendapat berkah dari keutamaan witir.
Sebagian ulama menjelaskan,
perintah dalam hadis tersebut tidak berlaku secara umum, tetapi khusus bagi
orang yang melakukan shalat sunah di akhir malam.
Pada bulan Ramadan seperti saat
ini, kaum muslimin biasanya telah melakukan witir setelah tarawih. Sehingga
bagi yang biasa melakukan tahajud bertanya-tanya; Apakah setelah tahajud
disunahkan kembali melakukan witir sebagai penutup shalat malam, sehingga
terjadi dua kali shalat witir dalam semalam?
Menjawab pertanyaan di atas,
berikut kutipan pendapat para ulama:
Pertama
Muhammad bin Ismail dalam Subulus
Salam mengutip keterangan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menjelaskan:
Mayoritas ulama berpendapat,
diperbolehkan melakukan shalat malam sesukanya, dan witir yang telah dilakukan
tidak perlu diulang karena ada hadis yang menjelaskan, “laa witraani fii
lailatin” (Tidak ada dua witir dalam satu malam).
Boleh juga menggenapkan shalat
witir yang pertama dengan shalat sunah satu rakaat. Setelah itu diperbolehkan
melakukan shalat sunah sesukanya, dan ditutup dengan witir kedua. Ketika witir
yang pertama telah digenapi, maka tidak ada lagi dua witir, yang ada hanyalah
witir yang dilakukan terakhir kali.
Masalah tersebut pernah
ditanyakan pada Ibnu Umar dan dia menjawab, “Jika engkau tidak takut terburu
waktu subuh atau tertidur, maka genapilah (witirmu yang pertama), kemudian
shalatlah sesukamu, kemudian tutuplah dengan witir”.
Kedua
Muhammad bin Abdurrahman
asy-Syafi’i ad-Dimasyqi dalam Rahmatul Ummah menjelaskan:
وَإِذَا أَوْتَرَ ثُمَّ تَهَجَّدَ لَمْ
يُعِدْهُ عَلَى الْأَصَحِّ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيّ وَمَذْهَبِ أَبِيْ حَنِيْفَةَ،
وَقَالَ أَحْمَدُ يَشْفَعَهُ بِرَكْعَةٍ ثُمَّ يُعِيْدُهُ
“Ketika seseorang telah melakukan
shalat witir, kemudian melakukan tahajud, maka dia tidak boleh mengulangi
witirnya menurut pendapat al-ashah dalam madzhab Syafi’i dan Abu Hanifah. Ahmad
bin Hanbal berpendapat, “Witir tersebut digenapkan dengan melakukan satu
rakaat, kemudian boleh kembali mengulangi witir”.
Ketiga
An-Nawawi dalam al-Majmu Syarah
Muhadzdzab menjelaskan:
فرع إِذَا اَوْتَرَ قَبْلَ أَنْ يَنَامَ
ثُمَّ قَامَ وَتَهَجَّدَ لَمْ يَنْقُض الوِتْرُ عَلَي الصَّحِيْحِ الْمَشْهُوْرِ وَبِهِ
قَطَعَ الْجُمْهُوْرُ بَلْ يَتَهَجَّدُ بِمَا تَيَسَّرَ لَهُ شَفْعًا، وَفِيْهِ وَجْهٌ
حَكَاهُ اِمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَغَيْرُهُ مِنَ الْخُرَاسَانِيِّيْنَ اَنَّهُ يُصَلِّى
مِنْ أَوَّلِ قِيَامِهِ رَكْعَةً يَشْفَعُهُ ثُمَّ يَتَهَجَّدُ مَا شَاءَ ثُمَّ يُوْتِرُ
ثَانِيًا وَيُسَمَّى هَذَا نَقْضُ الْوِتْرِـ
“Ketika seseorang melakukan witir
sebelum tidur, kemudian bangun untuk melakukan tahajud, maka witir yang telah dilakukan
tidak batal menurut pendapat yang shahih dan masyhur. Mayoritas ulama
memutuskan dengan pendapat tersebut, dan orang tersebut boleh tahajud sesukanya
dengan rakaat genap. Dalam masalah ini terdapat pendapat lain yang diceritakan
oleh Imam Haramain dan ulama Hurasan, yaitu pada saat memulai shalat, orang
tersebut melakukan satu rakaat untuk menggenapi witirnya yang awal, kemudian
melakukan tahajud sesukanya, ditutup dengan witir yang kedua. Cara ini disebut
dengan naqdu al-witri (membatalkan witir pertama)”
Keempat
Sayyid Abdurrahman bin Muhammad
dalam Bughyatul Musytarsyidin menyebutkan
وَلَوْ أَوْتَرَ بِثَلَاثٍ ثُمَّ أَرَادَ
التَّكْمِيْلَ جَازَ، قَالَهُ البَكْرِيُّ وَابْنُ حَجَرٍ وَالْعَمُوْدِيُّ، وَقَالَ
(م ر) لَا يَجُوزُ
“Jika seseorang ingin melakukan
witir tiga rakaat, kemudian ingin disempurnakan, maka hal tersebut
diperbolehkan. Ini adalah pendapat al-Bakri, Ibnu Hajar dan al-Amudi. Sedangkan
menurut Muhammad ar-Ramli, tidak boleh menyempurnakan witir tersebut.”
Kelima
Umar bin Muhammad as-Segaf dalam
Mukhtashar Tasyyidul Bunyan disebutkan
وَلَوْ أَوْتَرَ بِثَلَاثٍ بَعْدَ صَلاَةِ
الْعِشَاءِ مَثَلًا، وَأَرَادَ تَكْمِيْلَهُ آخِرَ اللَّيْلِ، أَوْ مَتَى شَاءَ، صَلَّى
البَقِيَّةَ ثَمَانِيًا بِنِيَّةِ الْوِتْرِ، كَمَا قَالَهُ البَكْرِيُّ فِي فَتَاوِيْهِ،
وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ العَمُوْدِيّ فِي حُسْنِ النَّجْوَى، وَابْنُ حَجَرٍ فِي فَتَاوِيْهِ،
وَاعْتَمَدَهُ شَيْخُنَا وَغَيْرُهُ … وَلِهَذَا لَا يُوْصَفُ بِأَنَّهُ أَوْتَرَ مَرَّتَيْنِ
“Ketika seseorang melakukan witir
tiga rakaat setelah isya’, umpamanya, dan dia ingin menyempurnakan witir
tersebut pada akhir malam, atau kapan saja, maka dia boleh menyempurnakan
kekurangannya sebanyak delapan rakaat dengan niat witir, sebagaimana dijelaskan
oleh al-Bakri dalam Fatawinya, Abdurrahman al-Amudi dalam Husnu an-Najwa, Ibnu
Hajar dalam Fatawinya, dan ini adalah pendapat terpercaya menurut Syaikuna dan
lainnya. Dengan cara ini seseorang tidak disebut melakukan witir dua kali”.
Keenam
Ibrahim Al-Baijuri dalam
Hasyiyahnya mengatakan:
وَيُسَنُّ جَعْلُهُ آخِرَ صَلاَةِ اللَّيْلِ
لِخَبَرِ الصَّحِيْحَيْنِ: اِجْعَلُوْا آخِرَ صَلَاتِكُمْ مِنَ اللَّيْلِ وِتْرًا،
فَإِنْ كَانَ لَهُ تَهَجُّدٌ أَخَّرَ الْوِتْرَ إِلَى أَنْ يَتَهَجَّدَ، فَإِنْ أَوْتَرَ
ثُمَّ تَهَجَّدَ لَمْ يُنْدَبْ لَهُ إِعَادَتُهُ، بَلْ لَا يَصِحُّ، لِخَبَرِ: لَا
وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ.
“Disunnahkan menjadikan witir sebagai akhir shalat malam, berdasarkan hadis Bukhari Muslim: “Jadikan witir sebagai akhir shalat malammu”. Apabila ingin melakukan tahajud, maka akhirkanlah witir setelah tahajud. Namun jika telah melakukan witir, kemudian baru melakukan tahajud, maka dia tidak disunahkan mengulang witir, bahkan witir tersebut tidak sah, karena ada hadits: “Tidak ada dua witir dalam satu malam”.
Ust. Muh Amin, S.Pd., M.Pd., MM