mimikamuslim.com - Tahukah antum, bahwa salah satu amal yang paling mulia dan paling dicintai oleh Allah Ta'ala—setelah tauhid—adalah berbakti kepada kedua orang tua?
Di zaman yang serba cepat dan digital ini, sering kali kita terlalu sibuk mengejar mimpi, karier, bahkan konten viral, hingga lupa bahwa ridha Allah bisa jadi sedang menanti kita... melalui senyum ibu, doa ayah, dan kesabaran keduanya dalam mendidik kita sejak kecil.
Mari kita duduk sejenak bersama… dan renungkan kembali betapa besar urgensinya berbakti kepada orang tua, bukan hanya sebagai kewajiban syariat, tapi juga sebagai jalan cinta yang mengantarkan kita menuju surga.
Berbakti kepada Orang Tua: Perintah Langsung dari Langit
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا
Wa qadhā rabbuka allā ta‘budū illā iyyāhu wa bil-wālidayni iḥsānā
Artinya: "Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu." (QS. Al-Isra: 23)
Perhatikan, antum...
Allah tidak hanya memerintahkan kita untuk menyembah-Nya, tapi langsung menyandingkannya dengan perintah berbuat baik kepada kedua orang tua. Ini bukan perintah biasa. Ini tanda bahwa birrul walidain adalah perintah yang agung dan sakral.
Kisah Teladan: Uwais Al-Qarni
Zaman Nabi ﷺ dahulu, ada seorang lelaki dari Yaman yang tidak terkenal di bumi, tapi terkenal di langit. Siapa dia? Namanya Uwais Al-Qarni.
Di sebuah wilayah di Yaman, hidup seorang pemuda miskin bernama Uwais Al-Qarni. Ia bukan sahabat Nabi, bukan pemuka kaum, bahkan bukan orang terpandang. Tubuhnya ditutupi belang-belang karena penyakit kulit, rumahnya sederhana, hartanya nyaris tak ada. Namun… di langit, namanya bergema, didoakan para malaikat, dan disebut-sebut oleh Rasulullah ﷺ.
Uwais hidup berdua saja bersama ibunya. Seorang ibu yang sudah tua renta, lumpuh, dan tidak bisa berjalan. Tapi jangan salah, di sanalah surga bagi Uwais bermula. Ia mencintai ibunya bukan hanya sebagai anak, tapi sebagai abdi cinta yang tidak mencari pamrih. Ia merawat ibunya siang malam, memasak, memandikan, menyuapi, menghibur, bahkan memijatnya dengan kasih sayang yang hanya dimiliki oleh orang yang ikhlas karena Allah semata.
Suatu hari, sang ibu berkata,
"Wahai anakku… ibu ingin berhaji."
Permintaan yang terdengar sederhana, namun berat luar biasa. Dari Yaman ke Mekkah itu bukan perjalanan sehari semalam, bahkan bukan perjalanan yang murah. Uwais tidak punya kendaraan. Ia bahkan tidak tahu bagaimana membiayai perjalanan itu. Tapi dia tidak pernah mengatakan, “Maaf Bu, tidak mungkin.” Tidak ada kata "tidak bisa" dalam kamus cinta seorang anak yang berbakti.
Apa yang ia lakukan, Antum tahu?
Uwais membeli seekor anak lembu kecil, lalu ia latihan fisik setiap hari—menggendong lembu itu naik turun bukit. Hari demi hari, lembu itu tumbuh besar. Tapi tubuh Uwais pun semakin kuat. Setelah delapan bulan, barulah Uwais merasa cukup kuat untuk menggendong ibunya menuju tanah suci.
Maka dimulailah perjalanan itu...
Ia menggendong ibunya dari Yaman ke Mekkah. Bukan dengan kendaraan, bukan dengan rombongan mewah, tapi hanya dengan dua kaki dan punggung yang menopang beban paling mulia di dunia: seorang ibu.
Setibanya di tanah suci, ia menggendong ibunya saat wukuf di Arafah. Ia menggendong ibunya saat thawaf di Ka’bah. Dan ketika ibunya menatap Ka'bah dengan air mata menetes di pipi tuanya, Uwais berdoa di hadapan Baitullah:
"Ya Allah, ampunilah semua dosa ibuku."
Sang ibu menoleh heran dan bertanya,
"Wahai anakku, bagaimana dengan dosamu sendiri?"
Uwais menjawab dengan senyum lembut,
"Cukuplah jika Allah mengampuni dosa Ibu. Jika Ibu masuk surga, maka insya Allah Uwais akan ikut bersamamu, karena ridhamu adalah surgaku."
Masya Allah…
Tak lama setelah ibadah haji itu, Uwais segera kembali ke Yaman. Ia masih ingin merawat ibunya. Ia melewatkan kesempatan bertemu langsung dengan Rasulullah ﷺ demi menjaga ibunya yang sedang kelelahan. Namun... justru karena itu, namanya disebut-sebut oleh Nabi ﷺ sendiri, bahkan sebelum bertemu.
Rasulullah ﷺ bersabda kepada Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib:
يَأْتِي عَلَيْكُمْ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ، مَعَ أَمْدَادِ أَهْلِ الْيَمَنِ، كَانَ بِهِ بَرَصٌ فَبَرَأَ مِنْهُ إِلَّا مَوْضِعَ دِرْهَمٍ، لَهُ وَالِدَةٌ هُوَ بِهَا بَرٌّ، لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللهِ لَأَبَرَّهُ، فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لَكَ فَافْعَلْ
Yatī ‘alaikum Uwais ibn ‘Āmir ma‘a amdādi ahli al-Yaman, kāna bihī barashun fabari’a minhū illā mawḍi‘a dirhamin, lahu wālidah huwa bihā barrun, lau aqsama ‘ala Allāhi la-abarrāhu, fa-inisṭaṭa‘ta an yastaghfira laka faf‘al.
Artinya:
"Akan datang kepada kalian Uwais bin ‘Amir bersama pasukan dari Yaman. Ia dahulu menderita penyakit belang lalu sembuh, kecuali bekas sebesar dirham. Ia memiliki seorang ibu dan sangat berbakti kepadanya. Seandainya ia bersumpah atas nama Allah, pasti Allah akan mengabulkannya. Jika engkau bisa memintanya agar memohonkan ampunan untukmu, maka lakukanlah."
(HR. Muslim no. 2542)
Setelah Rasulullah ﷺ wafat, Umar dan Ali pun mencari Uwais, dan akhirnya bertemu dengannya di Kufah. Mereka memintanya berdoa untuk mereka. Tapi Uwais, yang tawadhu dan rendah hati, awalnya menolak. Baginya, ia hanya seorang hamba biasa. Namun karena diminta oleh para sahabat, akhirnya ia pun berdoa, dan tangis Umar pun pecah. Ia menangis karena telah melihat dengan mata kepalanya sendiri—apa yang dimaksud oleh Rasulullah ﷺ.
Sungguh… ia bukan orang bumi, tapi penduduk langit.
Gaya Berbakti di Zaman Digital
Berbakti di zaman ini tidak melulu harus fisik, tapi bisa juga:
✅ Telepon orang tua setiap hari, walau cuma 2 menit.
✅ Transfer uang bulanan tanpa disuruh.
✅ Video call sekadar lihat wajah mereka bahagia.
✅ Tidak menyusahkan hati mereka dengan tingkah laku buruk.
✅ Jangan update story bahagia, kalau belum buat ibu-bapak bahagia.
Hati-hati! Membentak Orang Tua adalah Dosa Besar!
Allah juga mengingatkan kita dalam firman-Nya:
فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ
Fa lā taqul lahumā uff
Artinya: "Maka janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan 'ah'." (QS. Al-Isra: 23)
Bahkan mengatakan “ah” saja dilarang… Apalagi membentak, apalagi menghardik, apalagi menganggap mereka beban.
Kalau selama ini antum merasa hidup berat, rezeki seret, hati gelisah, dan usaha serba gagal…
Mungkin bukan karena usahamu kurang, tapi karena do'a orang tuamu belum turun kepada antum.
Berbaktilah. Sekarang juga. Jangan tunggu mereka tiada.
Sebab ketika mereka wafat, tidak akan ada lagi "pintu surga" yang memanggil dari arah rumah. Yang tersisa hanya kenangan… dan penyesalan bagi yang terlambat.
Maka wahai diri, jangan jadi anak durhaka. Jadilah anak yang membawa nama orang tua ke surga.
Doakan mereka, bahagiakan mereka, dan jadikan ridha mereka sebagai tujuan hidup, sebab di sana ada ridha Allah yang sangat kita dambakan.