OPINI l Oleh: Miftahun Najah (Deputy GM Cabang Utama Jakarta PT Perusahaan Perdagangan Indonesia)
Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) dan Harapan Ekonomi Rakyat
Selama puluhan
tahun, koperasi di Indonesia hidup dalam ambivalensi: di satu sisi diagungkan
sebagai sokoguru perekonomian nasional, di sisi lain sering kali dipinggirkan
dalam praktik kebijakan ekonomi yang lebih berpihak pada korporasi dan
mekanisme pasar. Tak jarang koperasi hanya menjadi jargon administratif atau
kendaraan proyek sesaat, alih-alih menjadi tulang punggung ekonomi rakyat.
Dalam konteks
tersebut, peluncuran program Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP) oleh
Kementerian Koperasi tahun 2025 ini dengan target 80.000 koperasi se-Indonesia patut
disambut sebagai ikhtiar serius untuk mengembalikan koperasi pada semangat
dasarnya: memperkuat ekonomi rakyat dari bawah, khususnya di desa. Namun,
seiring dengan harapan, muncul pula pertanyaan: seberapa jauh KDMP bisa
menjawab persoalan riil koperasi dan ekonomi desa yang telah lama struktural?
Membaca Langkah
Strategis KDMP
Secara
konseptual, KDMP mengusung semangat yang segar. Menteri Koperasi Budi Arie
Setiadi, menyampaikan bahwa Koperasi Desa Moperah Putih dirancang sebagai
solusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan mengatasi persoalan
ekonomi di pedesaan (Kemenkop RI, 7/3/25). Program ini dinilai bertujuan
membentuk koperasi multipihak di desa-desa, melibatkan unsur petani, perempuan,
pemuda, hingga perangkat desa, dan menghubungkannya dengan dukungan pembiayaan,
pelatihan, serta akses pasar. Pendekatan multipihak ini memang menjadi
keunggulan desain KDMP—ia tidak hanya menempatkan koperasi sebagai wadah
ekonomi sempit, melainkan sebagai simpul sosial-ekonomi yang inklusif.
Kementerian
Koperasi bahkan menggandeng kementerian/lembaga lain serta BUMN untuk
mengintegrasikan ekosistem KDMP, sebuah pendekatan lintas sektor yang relatif
baru dalam kebijakan koperasi. Secara spesifik, pemerintah pusat bersama mitra
strategis seperti BTP Indonesia, Pertamina, dan BNI menjalin kerja sama guna
mendukung aktivitas KDMP, termasuk dalam distribusi sembako, gas, logistik,
serta digitalisasi layanan koperasi (rri.co.id/24/06/25). Dengan demikian, KDMP
bukan sekadar koperasi biasa, tetapi dimaksudkan sebagai simpul ekonomi
kolektif desa yang mampu berdiri sendiri sekaligus terhubung dengan pasar dan
sistem nasional. Namun, seperti halnya banyak program pembangunan lainnya,
keberhasilan ide bukanlah jaminan keberhasilan pelaksanaan.
Sebagus apa pun
desain program, koperasi tidak akan berjalan sehat jika mengabaikan tiga aspek utama: kebudayaan lokal, struktur
kekuasaan desa, dan daya tahan kelembagaan koperasi itu sendiri.
Pertama,
realitas di banyak desa menunjukkan bahwa koperasi sering kali hanya menjadi
pelengkap administratif. Banyak warga desa skeptis terhadap koperasi karena
trauma masa lalu—koperasi yang korup, tak transparan, atau dikuasai segelintir
elite lokal. Di sinilah KDMP perlu cermat membaca dinamika sosial: membangun
koperasi tidak bisa hanya dengan pendekatan top-down, apalagi jika hanya
berdasarkan data potensi ekonomi semata.
Kedua, struktur
kekuasaan desa sering kali memengaruhi jalannya lembaga ekonomi. Dalam beberapa
kasus, perangkat desa menjadi pengendali tunggal koperasi. Akibatnya,
partisipasi masyarakat melemah, bahkan kehilangan kepercayaan. Bila KDMP ingin
menjadi koperasi rakyat, maka transparansi, akuntabilitas, dan demokrasi
internal harus menjadi prinsip tak bisa ditawar.
Ketiga, banyak
koperasi gagal bukan karena minim modal, tetapi karena lemahnya manajemen,
rendahnya literasi keuangan, serta belum adanya kaderisasi kepemimpinan
koperasi yang mumpuni. Tanpa investasi jangka panjang dalam penguatan SDM,
koperasi yang dibentuk akan mudah goyah atau hanya bergantung pada proyek
pemerintah.
Dari Ekonomi
Proyek ke Gerakan Ekonomi
Salah satu
kelemahan sejarah pembangunan koperasi di Indonesia adalah mentalitas proyek.
Ketika koperasi dikaitkan dengan bantuan, hibah, atau program jangka pendek, ia
kehilangan ruh sebagai gerakan kolektif. Koperasi menjadi semacam 'badan usaha
instan' yang hidup dari program, bukan dari kesadaran dan partisipasi
anggotanya.
KDMP harus
menghindari jebakan ini. Jika koperasi desa hanya tumbuh karena stimulus
pemerintah, maka begitu dana berhenti, koperasi pun mati suri. Maka, lebih dari
sekadar bantuan modal dan pelatihan, KDMP perlu didorong sebagai gerakan
kemandirian ekonomi desa. Di sinilah pendidikan koperasi—dalam arti pendidikan
ideologis, bukan sekadar teknis—menjadi krusial.
Koperasi tidak
boleh dilihat hanya sebagai sarana ekonomi, tetapi sebagai alat perubahan
sosial: membangun solidaritas warga, memperkuat kontrol atas sumber daya lokal,
serta menjadi alternatif dari sistem ekonomi yang makin terpusat dan
eksploitatif.
Di sisi lain, KDMP masih hadir di tengah kenyataan bahwa desa-desa Indonesia
masih berada dalam struktur ekonomi yang lemah. Tengkulak masih menguasai
rantai pasok pertanian, koperasi desa sering terjebak dalam pasar lokal tanpa
akses digital atau distribusi, dan banyak program pemberdayaan gagal karena
terlalu birokratis atau top-down.
Artinya, KDMP
tidak bisa berdiri sendiri. Ia perlu didukung dengan reformasi kebijakan yang
lebih luas: memperkuat posisi tawar produk desa, menjamin keberpihakan pasar
pemerintah kepada produk koperasi, dan memutus ketergantungan desa terhadap
mekanisme distribusi yang eksploitatif.
Dalam hal ini,
pemerintah daerah harus dilibatkan secara aktif—bukan hanya sebagai
fasilitator, tapi juga sebagai pengguna hasil koperasi desa. Misalnya, belanja
desa atau kabupaten untuk konsumsi, bahan bangunan, atau alat pertanian bisa
diarahkan untuk menyerap produk dari koperasi KDMP.
Menyongsong Masa
Depan KDMP
Jika KDMP
dikelola dengan baik—dengan pendekatan partisipatif, kaderisasi, dan penguatan
kelembagaan—program ini bisa menjadi lokomotif baru ekonomi lokal. Desa bisa
menjadi produsen sekaligus pengelola nilai tambah produk lokal. Tidak hanya
menjual hasil panen mentah, tapi juga mengolahnya, mengemas, dan memasarkan
dengan kolektivitas yang sehat.
Lebih jauh, KDMP
bisa menjadi sarana untuk merebut kembali kedaulatan ekonomi desa dari sistem
pasar yang selama ini hanya menjadikan desa sebagai “penyedia bahan baku
murah”. Koperasi dapat menjadi pelindung warga dari jeratan utang konsumtif,
sekaligus motor inovasi ekonomi lokal yang berbasis pada kekuatan komunitas.
Hematnya, KDMP
menyimpan potensi besar. Tapi seperti halnya semua program negara,
keberhasilannya akan sangat ditentukan oleh bagaimana ia diterjemahkan di
lapangan: apakah ia menjadi gerakan kolektif atau hanya proyek birokrasi?
Jika KDMP ingin
hidup lama, ia harus dibangun dari kepercayaan warga, dari kebutuhan riil
masyarakat desa, dan dari kesadaran kolektif bahwa koperasi bukan sekadar alat
ekonomi, melainkan ruang untuk menata kembali relasi sosial yang adil dan
berdaya.
Pemerintah perlu
berhenti melihat koperasi sebagai “unit usaha kecil” yang perlu ditopang dari
atas, dan mulai memperlakukannya sebagai pilar penting kemandirian bangsa. Jika
KDMP gagal membaca pelajaran dari masa lalu, maka ia hanya akan menjadi satu lagi
program yang lewat begitu saja. Tapi jika ia berhasil tumbuh dari akar, maka
KDMP dapat menjadi warisan penting bagi ekonomi kerakyatan Indonesia ke depan.